Selasa, 14 Oktober 2008

Tape sebagai Bumbu Masak

Belum lama ini saya berhasil menguak rahasia cara memasak salah satu masakan kegemaran saya, yaitu gurame kuah sayur asin. Sudah puluhan tahun saya jadi pelanggan sajian yang satu ini di RM "Taman Sari", Sindanglaya, dekat Cipanas, Jawa Barat. Ikan guramenya digoreng kering, lalu dimasukkan ke dalam kuah sawi asin yang berwarna keputihan dan lembut citarasa gurihnya. Kalau kebetulan hanya sendiri atau berdua, saya memesan gurame kuah dan ayam jahe (dikenal juga dengan nama pek cam ke - ayam kukus yang ditaburi jahe dan bawang putih goreng kering). Dua sajian sederhana yang sangat ciamik citarasanya. Kalau sedang beramai-ramai, ada kodok batu cah sayur asin dan kakap tahu tausi yang juga yahud di situ.

Tentu saja saya tidak pernah punya keberanian untuk menanyakan resep masakan kesukaan itu di RM "Taman Sari". Saya pikir, kalau saya tahu cara memasaknya, nanti malah saya akan menjadi bosan sendiri. Tetapi, ketika shooting Wisata Kuliner di Bandung, saya minta pemilik RM "Rama 23" men-demo-kan cara memasak sajian itu. Jalan Rama adalah Chinatown kedua di Bandung setelah Jalan Cibadak, dan sejak lama menyimpan kekayaan kuliner yang sangat khas.

Saya sendiri sebetulnya tidak memanfaatkan momen untuk "menjebak" si pemilik mengungkap rahasia dapurnya. Tetapi, dia sendiri rupanya yang dengan sangat generous menjelaskan semuanya secara terbuka. Ternyata, kuncinya adalah pada penggunaan tape ketan hitam untuk menciptakan rasa asam-manis yang sangat khas. Tone tipis tape ketan hitam itu memberi balans yang cantik terhadap rasa asam-asin dari sayur asin. Di samping itu, ragi hidup yang masih terkandung dalam tape juga menciptakan aroma harum yang mengagumkan. Eureka!

Penggunaan bumbu masak hasil fermentasi memang cukup luas dikenal dalam berbagai gagrak kuliner dunia. Dalam cara masak stir fry Tionghoa, banyak sekali digunakan arak (fermentasi nasi, ketan, atau buah) sebagai bumbu penyedap. Yang paling sering dipergunakan adalah angciu. Selain hadir di berbagai jenis masakan, angciu juga banyak dipakai dalam obat-obatan ramuan Tionghoa.

Banyak restoran Tionghoa kini menggunakan bumbu penyedap yang disebut Raja Rasa. Beberapa jurumasak menyebut Raja Rasa ini sebagai arak, tetapi sebetulnya ia bukan arak. Ia adalah hasil fermentasi dari berbagai bahan dasar. Dan, tentu saja, dengan derajat yang berbeda-beda, hasil fermentasi memang memiliki kandungan alkohol.

Fermentasi adalah sebuah reaksi biokimia terhadap sel-sel dalam kondisi anaerobik. Khusus dalam hal makanan dan minuman, fermentasi berarti konversi gula atau karbohidrat menjadi asam atau alkohol. Pembuatan wine dan bir, misalnya, dilakukan melalui proses fermentasi. Bahkan teh yang kita kenal sebagai minuman non-alkohol pun diproses secara fermentasi untuk melepaskan berbagai bahan kimia yang dikandung daun teh.

Teknik fermentasi yang dilakukan untuk memproduksi wine dikenal setidaknya 10.000 tahun yang silam. Ketika itu orang mulai mengenal bahwa evolusi karbondioksida dalam bahan pangan dapat menimbulkan busa dan tingkat keasaman atau alkohol yang justru mengawetkan makanan. Pengetahuan dasar inilah yang kini dipakai di negara-negara terbelakang untuk meningkatkan food safety. Karena bahan pangan mudah membusuk, maka dipakailah cara fermentasi sederhana dengan menggunakan asam laktat untuk memperpanjang usia (shelf life) bahan makanan dan minuman.

Di masa lalu, ketika teknik pendinginan dan pembekuan belum dikenal, kebanyakan makanan diawetkan dengan proses fermentasi. Yoghurt dan keju adalah contoh yang paling jelas, yaitu penggunaan asam laktat untuk memproses susu agar tahan lama. Di Sumatra Barat, kita juga mengenal dadiah - susu yang diasamkan. Roti juga dibuat dengan bahan fermentasi. Di Indonesia, proses koagulasi (pengentalan) tahu juga memakai biang tahu yang difermentasi. Di Jerman, sauerkraut mereka yang terkenal adalah hasil fermentasi kol atau kubis. Seperti juga di Korea dilakukan fermentasi terhadap sawi untuk menghasilkan kimchi.

Terasi dan petis adalah bumbu masak khas Indonesia yang sangat populer dan merupakan produk fermentasi. Jenis petis lainnya - seperti cincalok atau mencalok - bahkan lebih menonjol rasa fermentasinya. Produk-produk ini adalah hasil fermentasi ikan, udang, maupun sisa-sisanya. Saya bahkan baru tahu bahwa sebenarnya peda (ikan asin) juga dihasilkan dengan proses fermentasi.

Kecap, tauco, dan tausi adalah produk-produk fermentasi dari kedelai yang banyak dipakai sebagai bumbu masak. Soto Pekalongan (tauto) menjadi lebih sedap karena tauco - jauh lebih gurih dibanding sop tauco Jepang yang disebut miso shiru. Menu favorit saya adalah kakap tahu tausi. Fillet daging kakap dan irisan tahu digoreng, kemudian ditumis dengan bumbu tausi. Alamaaak, nikmatnya!

Fermentasi lanjutan juga terjadi pada berbagai produk kedelai. Berbagai masakan Jawa memakai tempe busuk atau tempe semangit (setengah busuk) sebagai bumbu masak. Tempe sendiri dibuat dengan proses peragian, kemudian proses ini dibiarkan berlanjut. Sambal tumpang dan sayur bobor adalah dua jenis masakan gurih yang wajib menggunakan tempe semangit atau tempe busuk.

Tahu yang difermentasikan lanjut juga banyak dipakai sebagai bumbu masak atau kondimen. Pernah makan bubur ayam yang memakai tahu busuk dengan citarasa asin? Di Taiwan juga populer - khususnya di musim dingin - menu dari tahu busuk yang disebut cho tofu. Dari jarak 50 meter pun kita sudah dapat mendeteksi di mana penjual cho tofu ini. Sekalipun ingin mencicipi, teman-teman Muslim sebaiknya tidak menyentuh sajian ini. Soalnya, kebanyakan disajikan dengan darah babi yang sudah dikentalkan. Ada juga yang memakai darah bebek untuk membuatnya lebih anyir lagi. Yucky!

Di Jepang ada semacam tempe busuk yang disebut natto. Rasa dan aromanya sangat tajam. Mirip keju dalam konsistensi dan aroma. Sekalipun saya cukup dapat meng-apresiasi natto, tetapi tetap saja saya heran mengapa orang Jepang begitu gemar makan natto yang benar-benar busuk ini. Tetapi, bila benar-benar saya tanyakan, jawab mereka justru pertanyaan lain: "Mengapa orang Perancis suka keju busuk seperti roquefort?" Hayyyaaah ....

Cuka adalah contoh lain dari bumbu masak yang dihasilkan dari proses peragian. Dalam kuliner Barat, cuka yang banyak dipakai adalah wine vinegar, yaitu fermentasi lanjutan dari wine (anggur) dengan menambahkan bakteri asam. Cuka sendiri juga dipakai untuk melakukan fermentasi terhadap berbagai bahan makanan. Acar (pickles) dari berbagai bahan pangan diproses dengan cuka. Seperti juga sauerkraut dan kimchi yang sudah disebut terdahulu.

Di Palembang, bumbu masak yang disukai adalah tempoyak - hasil fermentasi durian. Daging buah durian yang sudah masak dipisahkan dari bijinya, dimasukkan di dalam toples, kemudian dibiarkan selama tiga hari. Sambal tempoyak adalah kondimen yang paling populer di Palembang. Ikan patin pun paling enak dipepes dengan tempoyak.

Saya juga pernah dengar bahwa Unilever belakangan ini memproduksi bumbu penyedap non-MSG yang dihasilkan dari fermentasi ikan mas dan nenas. Bumbu penyedap yang satu ini memang terbukti dapat meningkatkan citarasa berbagai masakan. Barangkali hampir seperti penggunaan kecap ikan (fish sauce) di Thailand yang bahkan telah menggantikan posisi garam sebagai bumbu utama masakan.

Hmmm, ngomong tentang fermentasi saja kok jadi berkepanjangan, ya? Alangkah kayanya ragam makanan dunia!

Bondan Winarno
SUARA PEMBARUAN DAILY

Bakteri Laktat, Pengawet Sayuran Penghambat Kolesterol

TRAGEDI berulang setiap panen raya sayuran. Produk yang bertumpuk tidak semuanya terjual atau harganya jatuh. Hal ini terus berlangsung di sentra-sentra pertanian sayuran di Jawa Tengah (Magelang, Dieng, Ambarawa), maupun di tempat-tempat lainnya.

Ada berbagai teknik pengawetan agar sayuran tidak membusuk. Salah satu teknik pengolahan sayuran adalah dengan mengawetkannya menjadi asinan atau sejenisnya. Bahkan pengolahan sayuran dengan teknologi fermentasi bukan hanya berfungsi sebagai pengawet sumber makanan, tetapi juga berkhasiat bagi kesehatan.

Departemen Kesehatan di Amerika Serikat beserta instansi terkait pernah gencar mengingatkan masyarakat pengonsumsi daging sapi dari salah satu negara bagiannya yang ternyata tercemar bakteri fekal. Kalau termakan, konsumennya akan muntah-muntah, diare, atau muntaber.

Dampak fermentasi bakteri laktat pada bahan pangan akan menyebabkan nilai pH pangan turun di bawah 5.0 sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri fekal. Lactobacillus juga menghasilkan lactobacillin (laktobasilin), yaitu sejenis antibiotika serta senyawa lain yang berkemampuan menontaktifkan reaksi kimia yang dihasilkan oleh bakteri fekal di dalam tubuh manusia dan bahkan mematikannya. Dengan demikian, bahaya bakteri fekal bisa dinetralkan.

Umum Disantap

Beberapa contoh jenis makanan mungkin bukan saja sudah dikenal di masyarakat kita, tetapi malah sudah umum disantap. Sebut saja asinan, sauerkrat, kimchi dan acar (terbuat dari sayuran). Ada juga yang terbuat dari susu, berupa yoghurt, keju, butter, kefir dan susu asam. Sedangkan yang terbuat dari biji serealia seperti beras, jagung, dan sebagainya adalah idli dari India, pui dari Hawaii, pulque dari Meksiko, dan chicha dari Brasil. Bisa disimpulkan, hampir di setiap tempat dan negara selalu ada jenis makanan dan minuman yang merupakan hasil fermentasi laktat.

Jenis bakteri laktat yang terlibat langsung pada pembuatan makanan dan minuman fermentasi adalah Lactobacillus acidophilus, L fermentum, L casei, dan L lactis. Di beberapa kawasan Indonesia, tanpa disadari makanan hasil fermentasi laktat telah lama menjadi bagian di dalam menu makanan sehari-hari. Yang paling terkenal tentu saja adalah asinan sayuran dan buah-buahan. Bahkan selama pembuatan kecap, tauco, serta terasi, bakteri laktat banyak dilibatkan. Bekasam atau bekacem dari Sumatera bagian Selatan, yaitu ikan awetan dengan cara fermentasi bakteri laktat, bukan saja merupakan makanan tradisional yang digemari, tetapi juga menjadi contoh pengawetan secara biologis yang luas penggunaannya.

Padahal, cara pembuatannya sangat sederhana. Ikan-ikan yang sudah dibersihkan isi dan sisiknya kemudian dicampur nasi serta disimpan pada tempat tertutup selama beberapa hari atau minggu, hingga tercium bau asam. Maka setelah dibersihkan, ikan bisa tahan lama hingga tahunan walau tekstur ikannya akan mengeras. Jadi, sebelum dimasak harus direndam terlebih dahulu agar lunak.

Hal serupa juga terjadi pada pembuatan terasi. Terasi yang baik, seperti asal Cirebon yang terkenal dari "rebon" (udang kecil) dan terasi Sidoarjo dari ikan, dibuat dengan menggunakan ramuan bukan saja dari rebon dan ikan, tetapi juga sayuran. Maka, selama proses pembuatannya, muncul bau asam yang berasal dari asam laktat.

Tidak mengherankan bila dalam makanan awetan di atas terkandung senyawa bermanfaat seperti laktobasilin. Bakteri laktat (lactobacillus) merupakan kelompok mikroba dengan habitat dan lingkungan hidup sangat luas, baik di perairan (air tawar ataupun laut), tanah, lumpur, maupun batuan. Bakteri ini juga menempel pada jasad hidup lain seperti tanaman, hewan, serta manusia.
Pada manusia, sejumlah bakteri laktat ditemukan di usus, aliran darah, paru-paru, serta mulut. Pada vagina yang merupakan organ reproduksi wanita, tercatat delapan jenis bakteri laktat, antara lain Lacobacillus acidophilus, L fermentum, L brevis, L casei, L leichmannii, L lactis, L salivarius, dan L cellobiosus.

Vitamin

Asam laktat yang dihasilkan bakteri dengan nilai pH (keasaman) 3,4-4 cukup untuk menghambat sejumlah bakteri perusak dan pembusuk bahan makanan dan minuman. Namun, selama proses fermentasi, tidak hanya menghasilkan asam laktat dan laktobasilin. Dihasilkan pula senyawa tertentu yang dapat meningkatkan nilai organoleptik makanan dan minuman, termasuk rasa dan bau yang mengundang selera serta memperbaiki penampilan. Bahkan sejak awal 1960-an telah dibuktikan oleh tim peneliti di lingkungan Laboratorium Mikrobiologi ITB, selama pembuatan terasi ikan diproduksi sejumlah vitamin, khususnya B-12.

Penelitian juga menunjukkan, laktobasilin yang dihasilkan asam laktat membuat bakteri fekal tidak aktif.
Proses pembentukan kolesterol dan karsinogen (senyawa pemicu tumor) dimulai dari lemak yang akan berubah menjadi asam empedu yang kemudian menjadi sederet enzim. Kemudian mengubah prokarsinogen menjadi karsinogen, yang antara lain memicu kanker usus, payudara, prostat, dan pankreas.
Proses pembentukan asam empedu dari lemak dirangsang oleh bakteri fekal atau bakteri coli yang berasal dari tinja atau feses. Tetapi dengan adanya laktobasilin, maka bakteri fekal menjadi tidak aktif sehingga proses perubahan lemak menjadi asam empedu juga terhenti. Senyawa lain dari bakteri laktat adalah NI (not yet identified atau belum diketahui). Namun, senyawa ini sudah diketahui perannya dalam menghambat pembentukan kolesterol.

NI bekerja menghambat enzim 3-hidroksi 3-metil glutaril reduktase yang akan mengubah NADH menjadi asam nevalonat dan NAD. Dengan demikian, rangkaian senyawa lain yang akan membentuk kolesterol juga terhambat. Karena itu bisa dikatakan kalau kehadiran makanan dan minuman yang diasamkan secara alami dengan fermentasi bakteri laktat, bisa membantu pengonsumsinya mencegah munculnya kolesterol dan kanker. (13)

- Susiana Purwantisari, staf pengajar di jurusan Biologi FMIPA Undip.