Selasa, 14 Oktober 2008

Bakteri Laktat, Pengawet Sayuran Penghambat Kolesterol

TRAGEDI berulang setiap panen raya sayuran. Produk yang bertumpuk tidak semuanya terjual atau harganya jatuh. Hal ini terus berlangsung di sentra-sentra pertanian sayuran di Jawa Tengah (Magelang, Dieng, Ambarawa), maupun di tempat-tempat lainnya.

Ada berbagai teknik pengawetan agar sayuran tidak membusuk. Salah satu teknik pengolahan sayuran adalah dengan mengawetkannya menjadi asinan atau sejenisnya. Bahkan pengolahan sayuran dengan teknologi fermentasi bukan hanya berfungsi sebagai pengawet sumber makanan, tetapi juga berkhasiat bagi kesehatan.

Departemen Kesehatan di Amerika Serikat beserta instansi terkait pernah gencar mengingatkan masyarakat pengonsumsi daging sapi dari salah satu negara bagiannya yang ternyata tercemar bakteri fekal. Kalau termakan, konsumennya akan muntah-muntah, diare, atau muntaber.

Dampak fermentasi bakteri laktat pada bahan pangan akan menyebabkan nilai pH pangan turun di bawah 5.0 sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri fekal. Lactobacillus juga menghasilkan lactobacillin (laktobasilin), yaitu sejenis antibiotika serta senyawa lain yang berkemampuan menontaktifkan reaksi kimia yang dihasilkan oleh bakteri fekal di dalam tubuh manusia dan bahkan mematikannya. Dengan demikian, bahaya bakteri fekal bisa dinetralkan.

Umum Disantap

Beberapa contoh jenis makanan mungkin bukan saja sudah dikenal di masyarakat kita, tetapi malah sudah umum disantap. Sebut saja asinan, sauerkrat, kimchi dan acar (terbuat dari sayuran). Ada juga yang terbuat dari susu, berupa yoghurt, keju, butter, kefir dan susu asam. Sedangkan yang terbuat dari biji serealia seperti beras, jagung, dan sebagainya adalah idli dari India, pui dari Hawaii, pulque dari Meksiko, dan chicha dari Brasil. Bisa disimpulkan, hampir di setiap tempat dan negara selalu ada jenis makanan dan minuman yang merupakan hasil fermentasi laktat.

Jenis bakteri laktat yang terlibat langsung pada pembuatan makanan dan minuman fermentasi adalah Lactobacillus acidophilus, L fermentum, L casei, dan L lactis. Di beberapa kawasan Indonesia, tanpa disadari makanan hasil fermentasi laktat telah lama menjadi bagian di dalam menu makanan sehari-hari. Yang paling terkenal tentu saja adalah asinan sayuran dan buah-buahan. Bahkan selama pembuatan kecap, tauco, serta terasi, bakteri laktat banyak dilibatkan. Bekasam atau bekacem dari Sumatera bagian Selatan, yaitu ikan awetan dengan cara fermentasi bakteri laktat, bukan saja merupakan makanan tradisional yang digemari, tetapi juga menjadi contoh pengawetan secara biologis yang luas penggunaannya.

Padahal, cara pembuatannya sangat sederhana. Ikan-ikan yang sudah dibersihkan isi dan sisiknya kemudian dicampur nasi serta disimpan pada tempat tertutup selama beberapa hari atau minggu, hingga tercium bau asam. Maka setelah dibersihkan, ikan bisa tahan lama hingga tahunan walau tekstur ikannya akan mengeras. Jadi, sebelum dimasak harus direndam terlebih dahulu agar lunak.

Hal serupa juga terjadi pada pembuatan terasi. Terasi yang baik, seperti asal Cirebon yang terkenal dari "rebon" (udang kecil) dan terasi Sidoarjo dari ikan, dibuat dengan menggunakan ramuan bukan saja dari rebon dan ikan, tetapi juga sayuran. Maka, selama proses pembuatannya, muncul bau asam yang berasal dari asam laktat.

Tidak mengherankan bila dalam makanan awetan di atas terkandung senyawa bermanfaat seperti laktobasilin. Bakteri laktat (lactobacillus) merupakan kelompok mikroba dengan habitat dan lingkungan hidup sangat luas, baik di perairan (air tawar ataupun laut), tanah, lumpur, maupun batuan. Bakteri ini juga menempel pada jasad hidup lain seperti tanaman, hewan, serta manusia.
Pada manusia, sejumlah bakteri laktat ditemukan di usus, aliran darah, paru-paru, serta mulut. Pada vagina yang merupakan organ reproduksi wanita, tercatat delapan jenis bakteri laktat, antara lain Lacobacillus acidophilus, L fermentum, L brevis, L casei, L leichmannii, L lactis, L salivarius, dan L cellobiosus.

Vitamin

Asam laktat yang dihasilkan bakteri dengan nilai pH (keasaman) 3,4-4 cukup untuk menghambat sejumlah bakteri perusak dan pembusuk bahan makanan dan minuman. Namun, selama proses fermentasi, tidak hanya menghasilkan asam laktat dan laktobasilin. Dihasilkan pula senyawa tertentu yang dapat meningkatkan nilai organoleptik makanan dan minuman, termasuk rasa dan bau yang mengundang selera serta memperbaiki penampilan. Bahkan sejak awal 1960-an telah dibuktikan oleh tim peneliti di lingkungan Laboratorium Mikrobiologi ITB, selama pembuatan terasi ikan diproduksi sejumlah vitamin, khususnya B-12.

Penelitian juga menunjukkan, laktobasilin yang dihasilkan asam laktat membuat bakteri fekal tidak aktif.
Proses pembentukan kolesterol dan karsinogen (senyawa pemicu tumor) dimulai dari lemak yang akan berubah menjadi asam empedu yang kemudian menjadi sederet enzim. Kemudian mengubah prokarsinogen menjadi karsinogen, yang antara lain memicu kanker usus, payudara, prostat, dan pankreas.
Proses pembentukan asam empedu dari lemak dirangsang oleh bakteri fekal atau bakteri coli yang berasal dari tinja atau feses. Tetapi dengan adanya laktobasilin, maka bakteri fekal menjadi tidak aktif sehingga proses perubahan lemak menjadi asam empedu juga terhenti. Senyawa lain dari bakteri laktat adalah NI (not yet identified atau belum diketahui). Namun, senyawa ini sudah diketahui perannya dalam menghambat pembentukan kolesterol.

NI bekerja menghambat enzim 3-hidroksi 3-metil glutaril reduktase yang akan mengubah NADH menjadi asam nevalonat dan NAD. Dengan demikian, rangkaian senyawa lain yang akan membentuk kolesterol juga terhambat. Karena itu bisa dikatakan kalau kehadiran makanan dan minuman yang diasamkan secara alami dengan fermentasi bakteri laktat, bisa membantu pengonsumsinya mencegah munculnya kolesterol dan kanker. (13)

- Susiana Purwantisari, staf pengajar di jurusan Biologi FMIPA Undip.

Tidak ada komentar: